Tuesday, November 22, 2016

Pandangan dan Praktek Pelaksanaan Hak Asasi Manusia

Terdapat banyak teori yang mengupas hakikat hak asasimanusia. Salah satunya adalah pemikiran teori teori hak kodrati, positivisme, dan dan teori realisme hukum, serta beberapa pandangan tentang pelaksanaan perlindungan hak asasi manusia pada suatu negara.

Teori Hak Kodarat 

Ajaran teori hak kodrati muncul pada abad pertengahan (Davies, 1994) dengan tokoh paling menonjol Santo Thomas Aquinas. Ajaran hukum kodrat mengandung 2 ide filsafat yaitu (1) Ide bahwa posisi masing-masing kehidupan manusia ditentukan oleh Tuhan dan semua manusia tunduk pada otoritas Tuhan (2) Ide bahwa setiap orang adalah individu yang otonom.

Selain Thomas aquinas Teori ini pun mendapat dukungan dari Grotius yang mengatakan bahwa hukum kodrat merupakan landasan semua hukum positif atau hukum tertulis, dapat di rasionalkan di atas landasan empiris dengan menelaah aksioma ilmu ukur.


Para pendukung teori hukum kodrati memilih pendekatan rasional sekuler dengan memandang semua permasalahan hukum sebagai ketentuan yang dapat diketahui dengan menggunakan Nalar yang benar dan tidak bergantung pada Tuhan (Davidson, 1994:37).

Pandangan Hukum kodrati grotius terus mengalami penyempurnaan, dan akhirnya berubah menjadi teori hak kodrati yang menyatakan bahwa hak-hak individu yang subjektif diakui. Teori ini didukung oleh Locke, yang mengatakan bahwa semua individu di karunia Tuhan sejumlah hak yang inheren atas kehidupan kebebasan dan harta yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh negar.

Positivisme
  
Para pendukung teori positivis berpendapat bahwa ekstensi dan hak-haknya dapat diturunkan dari hukum negara. Teori ini menggunakan pendekatan yang mencerminkan suasana ilmiah zaman pencerahan di Eropa pada abad ke 18 (Davidson, 1994 : 40).

Salah seorang penganut teori ini adalah David Hume yang mengungkapkan bahwa penelitian  terhadap fenomena sosial dapat dikelompokkan dalam dua kategori yakni (1) Kategori fakta yang dapat dibuktikan dengan "ada" secara empiris dan "benar" atau "salahnya" dapat diperlihatkan. Inilah yang dimaksud dengan "ada" (2) Kategori moralitas, yang secara objektif tidak dapat dibuktikan adanya dan orang mempunyai perbedaan pendapat inilah yang dimaksud dengan "seharusnya".

Pendapat Hume tersebut dikenal dengan utilitarianisme yang kemudian dikembangkan oleh Jeremy Bentham. Tujuan "utilitas" (utility) adalah meningkatkan kesenangan manusia yang dapat dihitung secara sistematis. Oleh karena itu standar baku utilitas adalah seberapa jauh aturan-aturan yang akan memberikan kebahagiaan terbesar bagi umat manusia telah dilaksanakan.

Realisme Hukum
  
Para penganut teori realisme hukum adalah Karl Liewellyn dan Roscoe Pound. Menurut pandangan penganut teori ini, hak dipandang sebagai produk akhir proses interaksi dan mencerminkan nilai moral masyarakat yang berlaku pada segala waktu tertentu.

Roscoe Pound membuat rumusan untuk pengesahan, keinginan manusia, tuntunan manusia serta kepentingan sosial melalui rekayasa sosial, namun dia tidak mengidentifikasikan mekanisme atau metode yang dapat memprioritaskan hak-hak individu, dalam kaitan dengan hak-hak itu satu sama lain maupun dalam hubungan dengan sesama masyarakat (Davidson, 1994).

Demikian juga dengan Myres McDougal. Yang mengembangkan suatu pendekatan terhadap hak asasi manusia yang sarat nilai dan berorientasi pada kebijakan, berdasarkan pada "nilai luhur" perlindungan terhadap martabat manusia (Davidson, 1994). Menurut McDougal, tuntunan pemenuhan hak asasi manusia itu berasal dari pertukaran nilai nilai internasional yang luas dasarnya. Nilai-nilai ini dimanifestasikan tuntunan yang berkaitan dengan kebutuhan kebutuhan sosial seperti rasa hormat, kekuasaan, pencerahan, kesejahteraan, kesehatan keterampilan kasih sayang dan kejujuran. Semua nilai ini bersama-sama mendukung dan disahkan oleh nilai luhur martabat manusia.

Kemunculan teori tentang hak asasi manusia yang beragam telah menjadi salah satu penyebab kemajemukan pandangan tentang mekanisme perlindungan hak asasi manusia pada suatu negara  Sekurang-kurangnya Terdapat 4 kelompok pandangan tentang hak asasi manusia yang masing-masing memiliki pengikut yang cukup luas, termasuk di Indonesia. Ke empat pandangan tersebut adalah (1) Pandangan universal absolut; (2) Pandangan universal relatif  (3) Pandangan partikularistik absolut dan (4) Pandangan partikular relatif (Muladi, 1994:2).

Pandangan Universal absolut melihat hak asasi manusia sebagai nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia internasional. Profil sosial budaya suatu bangsa diabaikan, dengan kata lain pelaksanaan perlindungan hak asasi manusia di semua bangsa harus sama tanpa memperhatikan corak dan asal usul sosial budaya.

Pandangan ini banyak dianut di negara-negara maju. Sementara negara-negara berkembang menilai pandangan ini sebagai alat penekan sekaligus instrumen penilai. Hal ini terutama jika pelaksanaan HAM itu dikaitkan dengan pemberian bantuan luar negeri atau mekanisme diplomasi internasioanal.

Pandangan universal relatif merihat personal HAM sebagai masalah universal, namun dalam pelaksanaannya mengenal perkecualian yang didasarkan atas asas-asas hukum internasional. perkecualian tersebut bersumber pada ketentuan pasal 29 ayat 2. Pernyataan umum hak-hak manusia, yang menyatakan bahwa dalam menunaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan, setiap orang hanya bisa dikenakan pembatasan-pembatasan demikian sebagaimana ditentukan oleh undang-undang semata dengan tujuan menjamin pengakuan dan rasa hormat yang layak terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntunan-tuntunan yang layak secara normal, tata tertib dan kesejahteraan umum di dalam suatu tatanan masyarakat demokratis.

Pandangan Partikularistik absolut melihat personal hak asasi manusia sebagai masalah intern masing-masing bangsa. Menurut pandangan ini masing-masing bangsa dapat melakukan penolakan terhadap pelaksanaan kovenan-kovenan internasional tentang hak-hak asasi manusia. Pandangan ini lebih jauh seringkali menimbulkan kesan nasionalisme sempit yang menolak nilai-nilai universalitas, perlindungan hak-hak asasi manusia.

Pandangan  Partikularistik relatif melihat personal hak asasi manusia disamping sebagai masalah universal juga merupakan masalah nasional masing-masing bangsa. Hal ini berarti pemberlakuan kovenan-kovenan internasional memerlukan penyelesaian dengan karakteristik budaya suatu bangsa.

Berbeda dengan pendangan partikularistik absolut, para pengikut pandangan partikularistik relatif mengakui adanya relativitas kurtular dalam pelaksanaan perlindungan hak-hak asasi manusia yang berlaku secara universal. Hal ini mengandung tantangan bagaimana agar pelaksanaan asas-asas hak asasi manusia univerasl senapas dan mendapatkan dukungan dari nilai-nilai budaya nasional, sehingga keduanya betul-betul mendapat legalitas baik formal maupun sosial.

No comments: